SELAMAT DATANG

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Rabu, 03 Juni 2009

“MANAJEMEN KONFLIK” Pengaruh Keanekaraman Budaya Dalam Konflik Sosial

BAB I
PENDAHULUAN

Manusia adalah mahluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya. Umumnya manusia sangat peka terhadap budaya yang dipangkunya karena budaya merupakan landasan filosofi yang mendasari setiap perilaku manusia itu. Sehingga dengan demikian seringkali manusia secara tidak sadar bersikap tertutup terhadap kemungkinan perubahan dalam nilai-nilai budayayang dipangkunya. Mereka juga sering merasa bahwa nilai-nilai yang selama ini dimilikinya merupakan yang terbaik, dan karenannya harus dipertahankan.
Didalam kehidupan manusia dimasyarakat terdapat dua potensi yang saling bertolak belakang antara satu dengan yang lainnya yaitu potensi konflik dan potensi damai/konsensus. Kedua potensi itu bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu dan lainnya. Jadi potensi konflik dan damai menyatu dalam kehidupan masyarakat yang sewaktu-waktu dapat muncul silih berganti. Potensi konflik akan muncul lebih kuat apabila manusia terlalu mengutamakan kepentingan individu sehingga terjadi persaingan untuk mencapai tujuan. Sebaliknya, potensi damai akan lebih dominan bilamana manusia lebih mengutamakankepentingan kelompok yang dilandasi oleh nilai dan norma sosial yang pada gilirannya akan menciptakan suatu kedamaian.
Rumah tangga sebagai bagian kecil dari suatu masyarakat adalah merupakan lingkungan sosial yang sangat menentukan tumbuhnya potensi konflik atau damai bagi semua anggota keluarga. Apabila dalam sebuah rumah tangga menerapkan sistem pendidikan otoriter maka akan terbentuk manusia manusia yang memiliki kepribadian labil yang diwujudkan melalui berbagai perilaku yang berpotensi konflik seperti mengutamakan kepentingan pribadi, saling meremehkan, bersaing secara tidak sehat, dan saling membenci antara satu dengan yang lainnya.





BAB II
Pembahasan

A) Pengertian konflik
Pandangan para ahli tentang pengertian konflik dan kekerasan berbeda beda antara satu dengan yang lainnya sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Para ahli yang berpandangan positif mengatakan bahwa konflik dan kekerasan adalah suatu bentuk interaksi sosial yang bertujuan untuk membentuk dan mempertahankan struktur sosial sehingga dapat memperkuat identitas kelompok. Pada sisi lain, mereka yang berpandangan negatif mengatakan bahwa konflik dan kekerasan adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk memusnahkan dan menghancurkan lawan demi untuk mencapai sutau tujuan (Suparlan dalam S. Mamar, 2002)
Di samping itu ada kelompok ahli yang berpandangan netral mengatakan bahwa pada satu sisi konflik dapat dipandang positif bilamana dapat mendorong terjadinya perubahan masyarakat, dan pada sisi lain dapat dipandang bersifat negatif bilamana konflik tersebut terjadi berkepanjangan yang akhirnya dapat merusak tatanan dan merugikan masyarakat (Garna, 2001).Terjadinya konflik dan perilaku kekerasan dalam suatu masyarakat sangat tergantung dari sumber potensi konflik pada masyarakat tertentu.b erkaitan dengan sumber-sumber konflik, Kontjoraningrat (1975) mengatakan bahwa sedikitnya ada 4 macam sumber konflik dalam masyarakat majemuk. Yaitu : 1. adanya persaingan antara kelompok etnik dalam memperoleh sumber kehidupan, 2. Ada kelompok etnik yang memaksakan kebudayaan kepada kelompok etnik lainnya, 3. ada golongan agama yang memaksakan ajarannya kepada golongan agama lain, 4. Ada potensi konflik yang sudah mengakar dalam masyarakat.

B).Presepsi budaya terhadap konflik
Konflik merupakan permaslahan sosial yang sangat besar yang dihadapi oleh banyajk negara berkembangan termasuk Indonesia. Konflik yang sudah mengarah pada idsintegrasi ini telah menjadi polemic yang berkepanjangan di kalangan elit, perancang-perancang pembangunan, kalangan cendekiawan, dan masyarakat awam. Permasalahan seperti ini bahkan telah meporakporandakan sendi-sendi kehidupan masyarakat dan bangsa secara keseluruhan,, karena sebab-sebab terjadinya mungkin hanya diakibatkan oleh hal yang sangat sepele, yang berdampak oada hancurnya berbagai sarana dan prasarana yang telah demikian susahnya dibangun, serta muncul berbagai suasana psikologis yang tidak kondosif untuk hidup secara berdampingan sebagai sesama warga masyarakat.
Pertemuan antara dua atau lebih suku bangsa pada suatu wilayah atau dalam suatu pemukiman, sudah barang tentu akan terjadi kontak dan interaksi antar mereka, baik interaksi secara fisik maupun melalui lambang-lambang atau simbol-simbol. Sebagai suatu unsur kebudayaan, ineraksi seperti itu adakalanya berakhir dengan pertentangan. Kedua kondisi sosial seperti itu senantiasa terjadi karena adanya kepentingan yang berbeda-beda pada masing-masing kelompok etnis dalam masyarakat tersebut. Kebudayaan merupakan perangkat yang ampuh dalam sejarah kehidupan manusia yang dapat berkembang dan dikembangkan oleh manusia sejauh didukung oleh sikap-sikap budaya yang mampu memberikan kondisi yang meninganginya. Dalam pembukaan UUD 1945 terlihat jelas betapa kekuatan persepsi budaya mampu membeikan cerminan bagi perumusan menyadari bahwa para perintis kemerdekaan menyadari bahwa pengembagnan kebudayaan secara universal adalah perlu untuk menjamin kehidupan bangsa sebagai salah satu tujuan nasional. Disamping itu, pembukaan UUD 1945 berhasil pula membuka persepektif baru dan memperluas cakrawala dengan menghubungkan kecerdasan kehidupan bangsa dengan nilai-nilai dasar lainnya yaitu kesejahteraan rakyat, keadilan sosial dan nilai-nilai kemanusiaan pada umumnya.

B). Konflik di Poso
Hasil penelitian Yayasan Bina Warga mengemukakan bahwa konflik bernuansa SARA dan tindakan kekerasan di Kabupaten Poso. Sulawesi Tengah mula-mula terjadi pada tanggal 24 Desember 1998 yang dipicu oleh seorang pemuda Kristen yang mabuk melukai seorang pemuda Islam di dalam Masjid Sayo. Peristiwa konflik pertama ini bertepatan dengan proses suksesi Bupati Poso. Kemudian pada pertengahan April 2000, terjadi lagi konflik yang dipicu oleh perkelahian antara pemuda Kristen yang mabuk degan pemuda islam di terminal bus kota Poso. Perkelahian ini menyebabkan terbakarnya permukiman orang Pamona di kelurahan Lombogia. Selanjutnya permukiman Kristen melakukan tindakan balasan dengan membakar lebih dari 5000 rumah orang Islam dan membantai kurang lebih 2000 orang Islam. Dan pada akhir Desember 2002, pihak Islam melakukan tindakan balasan dengan membakar lebih 5000 rumah orang Kristen dan ratusan orang meninggal.
Berdasarkan pada hasil penelitian tersebut, terlihat bahwa yang bertikai adalah antara orang Kristen yang merupakan penduduk lokal dengan orang Islam yang merupakan penduduk pendatang. Dengan demikian, banyak pihak mengatakan bahwa konflik yang terjadi di Kabupaten Poso adalah merupakan Konflik SARA. Tetapi pendapat tersebut dibantah oelh banyak kalangan dengan berbagai argumentasi.
Dari hasil wawancara Warga diperoleh informasi bahwa orang Pamona sebagai penduduk lokal Kota Poso telah mengalami proses marjinaliasi dalam bidang politik sejak gerakan Permesta. Pada saat itu, gerakan Permesta dimotori oleh orang Minahasa yang memegang jabatan strategis dalam pemerintahan di Poso. Dengan demikian, orang Pamona merasa diperlakukan sebagai penduduk kelas dua di negeri sendiri karena kurang diberi peluang dalam menduduki jabatan di pemerintahan.
Sejak saat itulah orang Panoma sudah mulai termarjinalisasi dalam aspek politik dan aspek ekonomi serta mengalami dislokasi sebagai akibat dari program transmigrasi dari pulau Jawa dan Bali. Di samping itu migran spontan orang Gorontalo dan orang Manado dari Sulwesi Utara yang semakin banyak, tentu saja akan melahirkan benih-benih potensi konflik yang lama kelamaan tumbuh subur sejalan dengan perkembangan perpolitikan yang semakin kurang mapan di Kabupaten Poso.
Bertepatan dengan proses suksesi Bupati Poso dalam era reformasi yang sedang digulirkan serta menjamin keamanan dan penegakan hukum yang tidak kondosif telah mendorong warga masyarakat tidak mematuhi lagi nilai dan norma sosial yang telah menjadi semboyan masyarakat Poso yaitu Sintuwumarso , sehingga mereka berperilaku patologis seperti menjarah harta benda, membakar rumah, saling membenci, dan membunuh serta berbagai bentuk kekerasan lainya. Dalam kondisi masyarakat yang patologis itu, sangat sulit untuk menghentikannya secara cepat, namun demikian semua Stakeholder diharapkan dapat mengambil bagian untuk merendahkan konflik melalui berbagai macam model pendekatan.
C. Masyarakat Multi‐Etnik dan konflik sosial di Indonesia
konflik dan kekerasan sosial merupakan suatu fenomena yang kerap menandai kehidupan social masyarakat Indonesia, terutama pasca kejatuhan rezim Orde Baru. Insiden yang ditandai dengan mobilisasi massa dan kekerasan terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia, terutama di Maluku, Kalimantan tengah, Sulawesi Tengah, Aceh dan Papua (Sukma, 2005; Tadjoeddin, 2002). Pada dasarnya harus kita sadari bahwa Konflik sosial merupakan fenomena kompleks yang disebabkan oleh banyak aspek, seperti tingkat kesulitan ekonomi dan sosial, pengelompokkan sosial dan terjadinya kesenjangan hingga ketidakpuasan terhadap pemerintah dan rejim politik tertentu.
Beberapa pendekatan telah dilakukan guna mengkaji faktor‐faktor yang cukup dominan dalam menyebabkan konflik sosial dan bagaimana struktur konflik sosial di Indonesia Salah satu aspek yang diduga menjadi faktor utama dalam menyebabkan Konflik sosial di Indonesia adalah faktor kesukuan atau etnisitas. Indonesia sendiri yang secara alamiah merupakan bangsa yang tersusun atas banyak etnik, sehingga sangat berpotensi menimbulkan konflik. Untuk melihat hal tersebut kita menggunakan analisis kartogram untuk melihat sejauh mana keragaman etnik yang telah kita deskripsikan dengan menggunakan beberapa indeks dan kaitannnya dengan konflik social di Indonesia.
Apa yang terjadi di Kabupaten Poso Sulawesi Tengah pada beberapa tahun yang lalu dan hingga kini kondisnya berangsur-angsur pulih kembali, paling tidak disebabkan oleh kurangnya usaha-usha untuk menuangkan persepsi budaya yang telah terungkap dalam UUD 1945 itu dalam proses perkembangan bangsa secara terintegrasi .Demikian pula halnya dengan kehidupan masyarakat yang diwarnai dengan sistem pemerintahan yang otoriter menybabkan warga masyarakatnya senantiasa mengalami ketidakpuasan sehingga terbentuk kepribadian labil yang diwujudkan melalui perilaku yang penuh dengan potensi konflik. Sebaliknya jika suatu masyarakat yang diwarnai dengan sistem pemerintahan demokrasi, maka warga masyarakatnya akan senantiasa memiliki kepribadian yang diwujudkan dengan perilaku dan interaksi yang dilandasi oleh nilai-nilai dan norma-norma yang dapat menciptakan perdamaian

BAB III
PENUTUP
A) KESIMPULAN

Demikian pokok-pokok pikiran dan informasi yang dapat saya sampaikan dalam forum diskusi Konggres Kebudayaan 2003 ini. Materi yang tertuang dalam makalah ini hanya merupakan bahan diskusi dan tukar pikiran bagi kita semua guna merumuskan suatu model pendekatan yang dapat memulihkan konflik di Kabupaten Poso dan beberapa wilayah di Indonesia. Untuk itu diharapkan kepada kita semua agar melalui kesempatan ini para birokrat, tokoh agama, tokoh masyarakat, budayawan, penegak hukum, LSM, akademis dan stakeholder lainnya dapat memberikan opini dan saran-saran tentang pendekatan-pendekatan lain yang lebih cocok untuk digunakan dalam mengelola potensi konflik serta meredakan/memulihkan konflik terbuka yang masih terjadi di Kabupaten Poso sulawesi Tengah dan beberapa wilayah yang sangat rentan terhadap gesekan sosial politik.
Semoga dengan makalah ini dapat memberikan wawasan baru dan nuansa perdamaian bagi kita semua yang pada gilirannya dapat menumbuhkan pemahaman multikultural , yaitu suatu paham yang saling memahami, menghargai kebudayaan dan kesetaraan derajat antar berbagai kelompok etnik dan golongan agama. Paham seperti ini pada dasarnya sama dengan makna yang terkandung dalam prinsip-prinsip demokrasi.


Daftar Pustaka
 Koentjoroningrat, Peny, 1975 Manusia Dan Kebudayaan Indonesia, Jakarta, Jambatan.
 Mamar, Sulaiman, 2002 Konflik Dan Kekerasan, Makalah Disajikan Pada Temu BudayaSulwesi Tengah Di Palu, September 2003
 Mamar, Sulaiman Dkk, 2002 Respon Militer Terhadap Konflik Sosial Di Poso, Palu; Yayasan Bina Warga Sulawesi Tengah
 Ecip, S. Sinansari & Darwis Waru (2001). Kerusuhan Poso yang sebenarnya. Jakarta: PT Global Mahardika Netama.
 Mamar, Sulaiman, 2002 Konflik Dan Kekerasan, Makalah Disajikan Pada Temu Budaya Sulwesi Tengah Di Palu, September 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar