SELAMAT DATANG

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Rabu, 14 Oktober 2009

TEORI KEPEMIMPINAN

Secara sederhana, apabila berkumpul tiga orang atau lebih kemudian salah seorang di antara mereka “mengajak” teman-temannya untuk melakukan sesuatu (Apakah: nonton film, bermain sepak bola, dan lain-lain). Pada pengertian yang sederhanaorang tersebut telah melakukan “kegiatan memimpin”, karena ada unsur “mengajak” dan mengkoordinasi, ada teman dan ada kegiatan dan sasarannya. Tetapi, dalam merumuskan batasan atau definisi kepemimpinan ternyata bukan merupakan hal yang mudah dan banyak definisi yang dikemukakan para ahli tentang kepemimpinan yang tentu saja menurut sudut pandangnya masing-masing. Beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut :

1.Koontz & O’donnel, mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses mempengaruhisekelompok orang sehingga mau bekerja dengan sungguh-sungguh untuk meraih tujuan kelompoknya.

2.Wexley & Yuki (1977), kepemimpinan mengandung arti mempengaruhi orang lain untuk lebih berusaha mengarahkan tenaga, dalam tugasnya atau merubah tingkah laku mereka.

3.Georger R. Terry, kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang untuk bersedia berusaha mencapai tujuan bersama.

Dari ketiga definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa sudut pandangan yang dilihat oleh para ahli tersebut adalah kemampuan mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan bersama.

Definisi lain,para ahli kepemimpinan merumuskan definisi, sebagai berikut: [1] Fiedler (1967), kepemimpinan pada dasarnya merupakan pola hubungan antara individu-individu yang menggunakan wewenang dan pengaruhnya terhadap kelompok orang agar bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan, [2] John Pfiffner, kepemimpinan adalah kemampuan mengkoordinasikan dan memotivasi orang-orang dan kelompok untuk mencapai tujuan yang di kehendaki. [3] Davis (1977), mendefinisikan kepemimpinan adalah kemampuan untuk mengajak orang lain mencapai tujuan yang sudah ditentukan dengan penuh semangat. [4] Ott (1996), kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai proses hubungan antar pribadi yang di dalamnya seseorang mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan khususnya perilaku orang lain. [5] Locke et.al. (1991), mendefinisikan kepemimpinan merupakan proses membujuk orang lain untuk mengambil langkah menuju suatu sasaran bersama.Dari kelima definisi ini, para ahli ada yang meninjau dari sudut pandang dari pola hubungan, kemampuan mengkoordinasi, memotivasi, kemampuan mengajak, membujuk dan mempengaruhi orang lain.

Dari beberapa definisi di atas, ada beberapa unsur pokok yang mendasari atau sudut pandang dan sifat-sifat dasar yang ada dalam merumuskan definisi kepemimpinan, yaitu:

a.Unsur-unsur yang mendasari

Unsur-unsur yang mendasari kepemimpinan dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, adalah:

1.Kemampuan mempengaruhi orang lain (kelompok/bawahan).

2.Kemampuan mengarahkan ataumemotivasi tingkah laku orang lain atau kelompok.

3.Adanya unsur kerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

b.Sifat dasar kepemimpinan

Sifat-sifat yang mendasari kepemimpinan adalah kecakapan memimpin. Paling tidak, dapat dikatakan bahwakecakapan memimpin mencakup tiga unsur kecakapan pokok, yaitu:

1.Kecakapan memahami individual, artinya mengetahui bahwa setiap manusia mempunyai daya motivasi yang berbeda pada berbagai saat dan keadaan yang berlainan.

2.Kemampuan untuk menggugah semangat dan memberi inspirasi.

3.Kemampuan untuk melakukan tindakan dalam suatu cara yang dapat mengembangkan suasana (iklim) yang mampu memenuhi dan sekaligus menimbulkan dan mengendalikan motivasi-motivasi (Tatang M. Amirin, 1983:15).

Pendapat lain, menyatakan bahwa kecakapan memimpin mencakup tiga unsur pokok yang mendasarinya, yaitu : Seseorang pemimpin harus memiliki kemampuan persepsi sosial (sosial perception), Kemampuan berpikir abstrak (abilitiy in abstrakct thinking) dan Memiliki kestabilan emosi (emosional stability).

Kemudian dari definisi Locke, yang dikemukakan di atas, dimana dia mendefinisikan kepemimpinan merupakan proses membujuk orang lain untuk mengambil langkah menuju suatu sasaran bersama, maka menurut Burns (1978) kepemimpinan dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) elemen dasar, yaitu:

1.Kepemimpinan merupakan suatu konsep relasi (relation consept),artinya kepemimpinan hanya ada dalam relasi dengan orang lain, maka jika tidak ada pengikut atau bawahan, tak ada pemimpin. Dalam defines Locke, tersirat premis bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan berelasi dengan para pengikut mereka.

2.Kepemimpinan merupakan suatu proses,artinya proses kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu otoritas atau posisi jabatan saja, karena dipandang tidak cukup memadai untuk membuat seseorang menjadi pemimpin, artinya seorang pemimpin harus melakukan sesuatu.

Maka untuk menjadi pemimpin seseorang harus dapat mengembangkan motivasi pengikut secara terus menerus dan mengubah perilaku mereka menjadi responsive.

3.Kepemimpinan berarti mempengaruhi orang-orang lainuntuk mengambil tindakan, artinya seorang pemimpin harus berusaha mempengaruhi pengikutnya dengan berbagai cara, seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model (menjadi teladan), penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukuman, restrukrisasi organisasi, dan mengkomunikasikan sebuah visi. Dengan demikian, seorang pemimpin dapat dipandang efektif apabila dapat membujuk para pengikutnya untuk meninggalkan kepentingan pribadi mereka demi keberhasilan organisasi (Bass, 1995. Locke et.al., 1991., dalamMochammad Teguh, dkk., 2001:69).

Ada tiga implikasi penting dalam kepemimpinan yaitu

1.Adanya bawahan atau pengikut

2.Kekuasaan

3.Aturan-aturan atau norma

Secara garis besarnya pendekatan teori kepemimpinan dibagi menjadi 3 aliran[1] yaitu:

1.Teori sifat (Thrait Theory)

Berpandangan bahwa seseorang yang dilahirkan sebagai pemimpin karena memiliki sifat-sifat sebagai pemimpin.

2.Teori Prilaku (Behavior Theory)

Dilandasi pemikiran bahwa kepemimpinan merupakan interaksi antara pemimpin dan pengikut dan dalam interaksi tersebut pengikutlah yang menganalisis dan mempersepsikan apakah menerima atau menolak pengaruh dari pemimpin. Pendekatan prilaku ini menghasilkan 2 orientasi prilaku pemimpin yaitu pemimpin yang berorientasi pada tugas (task orientation) prilaku ini menampilkan gaya kepemimpinan otokratik dan prilaku pemimpin berorientasi pada orang (people orientation) prilaku ini menampilkan gaya kepemimpinan demokratis atau partisipatif.

3.Teori situasional (Situational Theory)

Teori yang menjelaskan efektivitas kepemimpinan dalam segala situasi.

2. Birokrasi

Mengenai pengertian birokrasi pada pertemuan sebelumnya sudah sering dibahas, disini saya hanya sedikit mengingat kembali mengenai apa itu birokrasi. Adapun pengertian Birokrasi menurut Max Weber (1864-1920) yaitu bentuk organisasi kekuasaan yang sepenuhnya diserahkan kepada para pejabat resmi atau aparat pemerintah yang memiliki syarat technical skills (kemampuan secara teknis melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya) bagi bekerjanya sistem administrasi pemerintahan. Birokrasi dalam hal ini sering di artikan sebagai suatu organisasi yang dijalankan oleh pemerintah yang bertujuan untuk memberikan pelayanan administrasi kepada publik. Adapun ciri birokrasi menurut Weber atau yang sering dikenal dengan ciri birokrasi Weberian yaitu kekuasaan itu ada pada setiap hierarki jabatan pejabat. Dalam hal ini birokrasi memiliki pandangan terhadap kekuasaan (power) yang cenderung menjadikan birokrasi sebagai kekuatan yang sakral[2].

Kepemimpinan Dalam Birokrasi

Pemimpin merupakan pemegang peranan yang sangat strategis dalam setiap organisasi termasuk dalam birokrasi publik. Keberhasilan suatu birokrasi publik didalam menjalankan tugas-tugasnya sangat ditentukan kualitas dari pemimpinnya, sehingga kedudukan pemimpin sangat mendominasi setiap aktivitas yang dilakukan. Dalam konteks birokrasi di Indonesia yang sangat paternalistik, dimana staf (bawahan) bekerja selalu tergantung pada pimpinan. Berbagai kajian kepemimpinan pada birokrasi menunjukkan bahwa masih lemahnya kepemimpinan dalam berbagai level atau tingkatan. Tingkat penguasaan kepemimpinan manajerial pada umumnya masih rendah, selain itu kapasitas dan kesadaran pemimpin yang memiliki kewajiban untuk melayani sangat terbatas bahkan tidak sedikit mereka sebaliknya minta dilayani[3].

Ada beberapa fenomena kepemimpinan pada birokrasi publik sekarang ini yaitu :

1.Pemimpin birokrasi publik dalam menjalankan roda birokrasi umumnya belum digerakkan oleh visi dan misi, tetapi masih senantiasa digerakkan oleh peraturan yang sangat kaku. Akibatnya pemimpin tidak dapat mengembangkan potensi organisasi, serta tidak mampu menyesuaikan dengan tuntutan eksternal dalam hal ini kebutuhan masyarakat.

2.Pemimpin birokrasi publik senantiasa mengandalkan kewenangan formal yang dimilikinya. Kekuasaan menjadi kekuatan untuk menggerakkan bawahan, dalam hal ini pemimpin kurang memahami karakteristik bawahannya.

3.Rendahnya kompetensi birokrasi publik, dalam hal ini tidak terlepas dari pola promosi pada birokrasi publik yang kurang mempertimbangkan kompetensi pejabat yang diangkat.

4.Rendahnya kemampuan menajerial dalam mengolah sumber daya organisasi yang dipimpinnya. Dalam hal ini berkaitan dengan perannya dalam melaksanakan fungsi-fungsi manajemen yakni perencanaan, pengorganisasian, motivasi dan pengawasan.

5.Lemahnya akuntabilitas pemimpin birokrasi. Dimana kita ketahui tidak adanya transparansi pertanggungjawaban publik atas apa yang telah dilakukan birokrasi. Sistem akuntabilitas hanya terbatas dilakukan pada akuntabilitas administrasi padahal selain itu masih ada akuntabilitas yang mesti ditempuh seperti akuntabilitas publik, akuntabilitas hukum dan akuntabilitas moral atau etik sebagai pegawai.

Kesimpulan

Dari definisi-definisi di atas dan penjelasan mengenai bagaimana kepemimpinan dalam birokrasi dapat ditarik kesimpulan, yaitu masalah kepemimpinan adalah masalah sosial yang di dalamnya terjadi interaksi antara pihak yang memimpin dengan pihak yang dipimpin untuk mencapai tujuan bersama, baik dengan cara mempengaruhi, membujuk, memotivasi dan mengkoordinasi. Dari sini dapat dipahami bahwa tugas utama seorang pemimpin birokrasi dalam menjalankan kepemimpinannya tidak hanya terbatas pada kemampuannya dalam melaksanakan program-program saja, tetapi lebih dari itu yaitu pemimpin harus mampu melibatkan seluruh bawahan dan lapisan organisasinya untuk ikut berperan aktif sehingga mereka mampu memberikan kontribusi yang positif dalam usaha mencapai tujuan diantaranya dalam pelayanan administrasi publik. Selain itu perlu adanya kepemimpinan yang digerakkan oleh visi dan misi organisasi, bukan sebaliknya terbelenggu dengan mekanisme dan aturan formal semata, tetapi perlu adanya langkah-langkah inovasi maupun pengembangan SDM aparatur yang signifikan.

Daftar Pustaka

-Sulistiyani, Ambar, T., Memahami Good Governance Dalam Perspektif Sumber Daya Manusia, 2004, Gava Media, Yogyakarta

-Thoha, M., Birokrasi dan Politik di Indonesia, 2003, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta

-Winardi, DR, SE., Kepemimpinan Dalam Manajemen, 2000, Rineka Cipta, Jakarta

Senin, 12 Oktober 2009

“ Fungsi Lembaga-Lembaga Negara Dalam Perumusan Kebijakan ”

BIROKRASI


I .Pendahuluan

Penyelenggaraan pemerintahan suatu negara akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh lembaga-lembaga negara yang saling berhubungan satu sama lain sehingga merupakan satu kesatuan dalam mewujudkan nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan negara sesuai dengan kedudukan, peran, kewenangan dan tanggung jawabnya masing-masing. Sekarang ini dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika kehidupan nasional, regional dan internasional yang cenderung berubah sangat dinamis, aneka aspirasi kearah perubahan meluas di berbagai negara di dunia, baik di bidang politik maupun ekonomi. Perubahan yang diharapkan dalam hal ini perombakan terhadap format-format kelembagaan birokrasi pemerintahan yang tujuannya untuk menerapkan prinsip efisiensi agar pelayanan umum (public services) dapat benar-benar efektif.

Pengertian Umum Lembaga

Lembaga negara bukan konsep yang secara terminologis memiliki istilah tunggal atau seragam. Di dalam kepustakaan Inggris, untuk menyebut lembaga negara di gunakan istilah Political instruction, sedangkan dalam terminologi bahasa Belanda terdapat istilah staat organen. Sementara itu, bahasa Indonesia menggunakan lembaga negara atau organ negara.

Kata ”lembaga” antara lain diartikan sebagai badan (oganisasi) yang tujuannya melakukan penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha’; dan (5) ’pola perilaku manusia yang mapan, terdiri atas interaksi sosial berstruktur di suatu kerangka nilai yang relevan’. Kamus tersebut juga memberi contoh frasa menggunakan kata lembaga, yaitu lembaga pemerintah yang diartikan ’badan-badan pemerintahan dalam lingkungan eksekutif. Kalau kata pemerintahan diganti dengan kata negara, diartikan ’badan-badan negara di semua lingkungan pemerintahan negara (khususnya di lingkungan eksekutif, yudikatif, dan legislatif)’.

Untuk memahami pengertian lembaga atau organ negara secara lebih dalam, kita dapat mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen mengenai the concept of the State Organ dalam bukunya General Theory of Law and State. Hans Kelsen menguraikan bahwa “Whoever fulfills a function determined by the legal order is an organ”, artinya siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum (legal order) adalah suatu organ.

Menurut Kelsen, parlemen yang menetapkan undang-undang dan warga negara yang memilih para wakilnya melalui pemilihan umum sama-sama merupakan organ negara dalam arti luas. Demikian pula hakim yang mengadili dan menghukum penjahat dan terpidana yang menjalankan hukuman tersebut di lembaga pemasyarakatan adalah juga merupakan organ negara. Pendek kata dalam pengertian yang luas ini organ negara itu identik dengan individu yang menjalankan fungsi atau jabatan tertentu dalam konteks kegiatan bernegara. Inilah yang disebut sebagai jabatan publik atau jabatan umum (public offices) dan pejabat publik atau pejabat umum (public officials).

Di samping pengertian luas itu, Hans Kelsen juga menguraikan adanya pengertian organ negara dalam arti yang sempit, yaitu pengertian organ dalam arti materiil. Individu dikatakan organ negara hanya apabila ia secara pribadi memiliki kedudukan hukum yang tertentu (...he personally has a specific legal position). Suatu transaksi hukum perdata, misalnya, kontrak, adalah merupakan tindakan atau perbuatan yang menciptakan hukum seperti halnya suatu putusan pengadilan.

II. Pembahasan

A).Fungsi kebijakan Lembaga-Lembaga Negara Berdasarkan UUD 1945

Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan non-departemen, atau lembaga negara saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh UUD, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari UU, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Hirarki atau ranking kedudukannya tentu saja tergantung pada derajat pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan UU merupakan organ UU, sementara yang hanya dibentuk karena keputusan presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya. Demikian pula jika lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi tingkatannya.

Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara, ada dua unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie. Organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya; organ adalah status bentuknya, sedangkan functie adalah gerakan wadah itu sesuai maksud pembentukannya. Dalam naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, organ-organ yang dimaksud, ada yang disebut secara eksplisit namanya, dan ada pula yang disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau organ yang disebut bahwa baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah.

B).Jenis-jenis perumusan kebijakan lembaga-lembaga negara

Dilihat dari segi fungsinya Lembaga-Lembaga Negara ada yang bersifat utama/primer (primary constitutional organs), dan bersifat penunjang/sekunder (auxiliary state organs). Sedangkan dari segi hirarkinya lembaga negara itu dibedakan kedalam 3 (tiga) lapis yaitu

1. Organ lapis pertama disebut sebagai lembaga tinggi negara, dimana nama, fungsi dan kewenangannya dibentuk berdasarkan UUD 1945. Adapun yang disebut sebagai organ-organ konstitusi pada lapis pertama atau dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara yaitu ; Presiden an Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

2. Organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja, dimana dalam lapis ini ada lembaga yang sumber kewenangannya dari UUD, ada pula sumber kewenangannya dari Undang-Undang dan sumber kewenangannya yang bersumber dari regulator atau pembentuk peraturan dibawah Undang-Undang. Kelompok Pertama yakni organ konstitusi yang mendapat kewenangan dari UUD misalnya Menteri Negara, Komisi Yudisial (KY), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara, Komisi pemilihan umum, Bank Sentral ; Kelompok Kedua organ institusi yang sumber kewenangannya adalah Undang-Undang misalnya seperti Komnas HAM, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan lain sebagainya. Walaupun dasar/sumber kewenangannya berbeda kedudukan kedua jenis lembaga negara ini dapat di sebandingkan satu sama lain, hanya saja kedudukannya walaupun tidak lebih tinggi tetapi jauh lebih kuat. Keberadaannya disebutkan secara eksplisit dalam UUD, sehingga tidak dapat ditiadakan atau dibubarkan hanya karena kebijakan pembentukan Undang-Undang. Sedangkan Kelompok Ketiga yakni organ konstitusi yang termasuk kategori Lembaga Negara yang sumber kewenangannya berasal dari regulator atau pembentuk peraturan di bawah Undang-Undang, misalnya Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden.

3. Organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah yaitu merupakan lembaga negara yang ada di daerah yang ketentuannya telah diatur oleh UUD 1945 yaitu : Pemerintah Daerah Provinsi; Gubernur; DPRD Provinsi; Pemerintahan Daerah Kabupaten; Bupati; DPRD Kabupaten; Pemerintahan Daerah Kota; Walikota; DPRD Kota, Disamping itu didalam UUD 1945 disebutkan pula adanya satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa yang diakui dan dihormati keberadaannya secara tegas oleh UUD, sehingga eksistensinya sangat kuat secara konstitusional.

D).Hubungan Antar Lembaga-Lembaga Negara

Hubungan antar alat-alat kelengkapan suatu negara atau yang lazim disebut sebagai lembaga negara merupakan hubungan kerjasama antar institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara. Berdasarkan teori-teori klasik mengenai negara setidaknya terdapat beberapa fungsi negara yang penting seperti fungsi membuat kebijakan peraturan perundang-undangan (fungsi legislatif), fungsi melaksanakan peraturan atau fungsi penyelenggaraan pemerintahan (fungsi eksekutif), dan fungsi mengadili (fungsi yudikatif). Kecenderungan praktik ketatanegaraan terkini di Indonesia oleh banyak ahli hukum tata negara dan ahli politik dikatakan menuju sistem pemisahan kekuasaan antara ketiga fungsi negara tersebut (separation power).

Alat kelengkapan negara berdasarkan teori–teori klasik hukum negara meliputi kekuasaan eksekutif, dalam hal ini bisa presiden atau perdana menteri atau raja, kekuasaan legilatif, dalam hal ini bisa disebut parlemen atau dengan nama lain seperti dewan perwakilan rakyat, dan kekuasaan yudikatif seperti mahkamah agung atau supreme court. Setiap alat kelengkapan negara tersebut bisa memiliki organ-organ lain untuk membantu pelaksanaan fungsinya. Kekuasaan eksekutif, misalnya, dibantu wakil dan menteri-menteri yang biasanya memimpin satu departemen tertentu. Meskipun demikian, tipe-tipe lembaga negara yang diadopsi setiap negara berbeda-beda sesuai dengan perkembangan sejarah politik kenegaraan dan juga sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam negara yang bersangkutan.

Kesimpulan

Secara konseptual, tujuan diadakannya lembaga-lembaga negara atau alat-alat kelengkapan negara adalah selain menjalankan fungsi negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual. Dengan kata lain, lembaga-lembaga itu harus membentuk suatu kesatuan proses yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan fungsi negara atau istilah yang digunakan Prof. Sri Soemantri adalah actual governmental process. Jadi, meskipun dalam praktiknya tipe lembaga-lembaga negara yang diadopsi setiap negara bisa berbeda-beda, secara konsep lembaga-lembaga tersebut harus bekerja dan memiliki relasi sedemikian rupa sehingga membentuk suatu kesatuan untuk merealisasikan secara praktis fungsi negara dan secara ideologis mewujudkan tujuan negara jangka panjang.

Sampai dengan saat ini, proses awal demokratisasi dalam kehidupan sosial dan politik dapat ditunjukkan antara lain dengan terlaksananya pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004 secara langsung, terbentuknya kelembagaan DPR, DPD dan DPRD baru hasil pemilihan umum langsung, terciptanya format hubungan pusat dan daerah berdasarkan perundangan-undangan otonomi daerah yang baru, dimana setelah jatuhnya Orde Baru (1996 - 1997), pemerintah merespon desakan daerah-daerah terhadap sistem pemerintahan yang bersifat sangat sentralistis, dengan menawarkan konsep Otonomi Daerah untuk mewujudkan desentralisasi kekuasaan, selain itu terciptanya format hubungan sipil-militer, serta TNI dengan Polri berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, serta terbentuknya Mahkamah Konstitusi.

Daftar Pustaka

Undang-Undang Dasar 1945

RI, LAN, SANKRI Buku I Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Negara, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2003

Sabtu, 04 Juli 2009

PEMBUKAAN PEMBEKALAN KKN PROFESI INTEGRAL ANGKATAN 58 UNIVERSITAS TADULAKO


Pada tanggal 4 juli 2009 dilaksanakan pembukaan pembekalan yang dilaksanakan digedung PKM universitas tadulako yang dihadiri oleh mahasiswa peserta KKN angkatan 58 semester antara dari beberapa fakultas dengan multi disiplin Ilmu yang ada di Universitas Tadulako
yang terdiri dari : fakultas ilmu sosial dan ilmu politik , Fakultas ekonomi , fakultas hukum,dan FKIP dan MIPA, dengan total peserta yang berjumlah sekitar 229 mahasiswa yang dominan pesertanya kebanyakan dari FISIP,MIPA 29 mahasiswa, dan sisanya fakultas hukum dan FKIP yang pada tahun ini mahasiswa dari fakultas tersebut sangat sedikit akan peserta yang ikut dalam KKN profesi integral angkatan 58 karena menerapkan kebijakan kegiatan kegiatan kuliah profesi(KKP).
pelaksanaan pembekalan KKN dilaksanakan selam 6 hari dan nantinya akan dilakukan pelepasan kelokasi tempat KKN oleh rektor Universitas Tadulako masing masing pada tanggal 13 juli 2009 , pelaksanaan KKN angkatan 58 akan dilaksanakan dalam jangka waktu 2 bulan yang bertempat di 2 kabupaten yaitu poso dan parigi moutong sebagai bagian pegabdian civitas universitas tadulako terhadap masyarakat khususnya di sulawesi tengah.

Sabtu, 20 Juni 2009

DINAMIKA DEMOKRASI DALAM PEMERINTAHAN DESA

Pergantian kekuasaan pemerintahan Orde Baru oleh pemerintahan reformasi juga berimplikasi pada perubahan kehidupan demokrasi di desa. Setidaknya hal itu tampak dari semangat adaptasi atas demokrasi yang cukup besar mulai tahun 1999. Bisa disimak kehadiran Badan Perwakilan Desa (BPD-1) dan kemudian menjadi Badan Permusyawaratan Desa (BPD-2), yang bertindak sebagai badan legislatif baru di desa, menggantikan peran Lembaga Musyawarah Desa (LMD) sebelumnya yang dianggap bersifat monolitik dan lebih berorientasi ke ‘atas’ atau supradesa.

Praktek demokrasi desa di bawah UU nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa memberikan landasan yang kuat bagi tegak kokohnya kekuasaan sentralistik Orde Baru bagi pengaturan pemerintahan di tingkat desa. Karakter evolusi kehidupan demokrasi kebanyakan masih bersifat seragam, tidak banyak pilihan dalam pelaksanaan demokrasi desa. Begitu pula istilah, struktur dan mekanisme pemerintahan desa telah dibakukan. Namun, ketika kekuasan otoritarian Orde Baru berakhir, maka bermunculanlah semangat anti sentralisme diiringi dengan semakin menguatnya isu federalisme. Kebijakan depolitisasi yang semula diterapkan hingga ke tingkat desa diantaranya dengan adanya politik massa mengambang (floating mass) guna mengantisipasi dampak sosial politik lalu menjadi jauh lebih longgar.

Perubahan dalam kehidupan politik yang sangat mendasar tersebut juga akibat adanya pergeseran paradigmatik politik pemerintahan desa. Pergeseran itu terlihat dari dikeluarkannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan UU Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan sekaligus juga UU Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Perbedaan prinsip dalam demokrasi desa dengan perubahan regulasi ini diantaranya penggantian LMD menjadi BPD-1 yang bersifat lebih liberal.

* Hubungan Subordinatif

Kedudukan Kepala Desa menjadi lebih berorientasi ke ‘bawah’. Bupati/ Walikota hanya mengesahkan (tidak mengangkat lagi) Kepala Desa yang telah dipilih langsung oleh rakyat. Jabatan Kepala Desa maksimal 10 tahun atau dua kali masa jabatan, namun Pemerintah Kabupaten dapat mengatur sendiri lamanya masa jabatan tersebut sesuai kondisi sosial budaya setempat. Tampak adanya kondisi yang lebih fleksibel dalam hal masa jabatan Kepala Desa dibandingkan dengan era sebelumnya yang diseragamkan maksimal 16 tahun (2 kali masa jabatan) untuk semua desa.

Nuansa lebih demokratis juga tampak dalam BPD-1. Dalam era ini, seseorang bisa menjadi anggota BPD-1 berdasarkan hasil pemilihan, bukan dengan penunjukkan sebagaimana yang dilakukan dalam LMD. Begitu pula pimpinan BPD-1 dipilih dari dan oleh anggota BPD-1. Pada era sebelumnya Kepala Desa dan Sekretaris Desa secara ex oficio menjadi Ketua dan Sekretaris LMD. BPD-1 memiliki fungsi legislasi, pengawasan (era sebelumnya tidak ada) dan budgeter. Namun, yang paling membuat fungsi BPD-1 sangat kuat adalah atas nama rakyat dapat meminta pertanggungjawaban kepala desa, sesuatu yang tidak pernah dimiliki sebelumnya. Dengan demikian, bisa dikatakan Kepala Desa berkedudukan sebagai subordinasi, karena tunduk dan bertanggung jawab kepada BPD-1.

Apabila dicermati dalam era ini telah terjadi dinamika dalam kehidupan demokrasi desa. Pertama, adanya keleluasaan desa untuk berkreasi dalam menyusun kebijakan desa yang disesuaikan dengan adat-istiadat, kebutuhan dan aspirasi warganya. Kedua, penghargaan terhadap keanekaragaman dan ‘otonomi asli’ dengan membuka peluang munculnya istilah lain untuk nama institusi dan jabatan desa seperti di Bali: keprebekelan untuk desa dinas, perbekel untuk kepala desa, banjar dinas untuk dusun, klian banjar dinas untuk kepala dusun. Ketiga, kehadiran BPD-1 yang sangat demokratis memungkinkan terjadinya penyebaran kekuasaan di tingkat desa dari kekuasaan monolitik di tangan kepala desa ke relasi kuasa yang lebih berorientasi pada rakyat

* Pembatasan Hak

Namun, penerapan demokrasi di/ dari bawah itu tidak berlangsung lama. Seiring dengan pemberlakuan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 72 tahun 2007 tentang Desa, kondisi legislative heavy tersebut dibatasi. BPD-1 diganti menjadi BPD-2 yang berfungsi (hanya) menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. BPD-2 ini ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat untuk masa jabatan 6 tahun dan dapat dipilih lagi untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Jadi, masa jabatannya maksimal 12 tahun, lebih lama 2 tahun dari era sebelumnya.

Namun, hubungan Kepala Desa dengan BPD-2 kembali ‘diserahkan’ serta diatur lebih jauh dalam Perda berdasarkan Peraturan Pemerintah. Dalam kenyataannya hubungan yang terjadi adalah sebatas koordinasi sehingga antara Kepala Desa dengan BPD-2 berkedudukan sejajar. Fungsi BPD-1 yang sangat kuat sebelumnya yakni atas nama rakyat dapat meminta pertanggungjawaban Kepala Desa dihilangkan atau tidak dimiliki lagi. Bila sebelumnya Kepala Desa berkedudukan sebagai subordinasi BPD-1, karena tunduk dan bertanggung jawab kepada BPD-1, sekarang hubungan keduanya menjadi mitra sejajar dan sebatas koordinatif.

Tampak ada dinamika demokrasi dalam sistem pemerintahan desa khususnya dalam hal kedudukan, tugas pokok dan fungsi Lembaga Perwakilan Desa. Dari sentralistis-monolitik (Lembaga Musyawarah Desa: LMD-UU No. 5/ 1979) menjadi liberal-demokratis (Badan Perwakilan Desa: BPD-1-UU No. 22/ 1999) dan akhirnya menjadi demokratis-prosedural ( Badan Permusyawaratan Desa: BPD-2-UU No. 32/ 2004 dan PP No. 72/ 2007).


Kutipan : http://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/05/08/dinamika-demokrasi-desa/

Kamis, 18 Juni 2009

TEORI POLITIK MACHIAVELLI

The Prince dapat dianggap nasihat praktek terpenting buat seorang kepada negara. Pikiran dasar buku ini adalah, untuk suatu keberhasilan, seorang Pangeran harus mengabaikan pertimbangan moral sepenuhnya dan mengandalkan segala, sesuatunya atas kekuatan dan kelicikan. Machiavelli menekankan di atas segala-galanya yang terpenting adalah suatu negara mesti dipersenjatai dengan baik. Dia berpendapat, hanya dengan tentara yang diwajibkan dari warga negara itu sendiri yang bisa dipercaya; negara yang bergantung pada tentara bayaran atau tentara dari negeri lain adalah lemah dan berbahaya.

Machiavelli menasihatkan sang Pangeran agar dapat dukungan penduduk, karena kalau tidak, dia tidak punya sumber menghadapi kesulitan. Tentu, Machiavelli maklum bahwa kadangkala seorang penguasa baru, untuk memperkokoh kekuasaannya, harus berbuat sesuatu untuk mengamankan kekuasaannya, terpaksa berbuat yang tidak menyenangkan warganya, meski begitu untuk merebut sesuatu negara, si penakluk mesti mengatur langkah kekejaman sekaligus sehingga tidak perlu mereka alami tiap hari kelonggaran harus diberikan sedikit demi sedikit sehingga mereka bisa merasa senang."

Untuk mencapai sukses, seorang Pangeran harus dikelilingi dengan menteri-menteri yang mampu dan setia: Machiavelli memperingatkan Pangeran agar menjauhkan diri dari penjilat dan minta pendapat apa yang layak dilakukan. Machiavelli memperbincangkan apakah seorang Pangeran itu lebih baik dibenci atau dicintai.

Tulisan Machiavelli: "... Jawabnya ialah orang selayaknya bisa ditakuti dan dicintai sekaligus. Tetapi ... lebih aman ditakuti daripada dicintai, apabila kita harus pilih salah satu. Sebabnya, cinta itu diikat oleh kewajiban yang membuat seseorang mementingkan dirinya sendiri, dan ikatan itu akan putus apabila berhadapan dengan kepentingannya. Tetapi ... takut didorong oleh kecemasan kena hukuman, tidak pernah meleset ..."

"Cara bagaimana seorang Pangeran memegang kepercayaannya." Di sini Machiavelli berkata "... seorang penguasa yang cermat tidak harus memegang kepercayaannya jika pekerjaan itu berlawanan dengan kepentingannya ..." Dia menambahkan, "Karena tidak ada dasar resmi yang menyalahkan seorang Pangeran yang minta maaf karena dia tidak memenuhi janjinya," karena "... manusia itu begitu sederhana dan mudah mematuhi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukannya saat itu, dan bahwa seorang yang menipu selalu akan menemukan orang yang mengijinkan dirinya ditipu." Sebagai hasil wajar dari pandangan itu,

Machiavelli menasihatkan sang Pangeran supaya senantiasa waspada terhadap jan Pemikiran filsafat politik Machiavelli sangat kontroversi karena membebaskan filsafat politik dari belenggu masa lampau (peranan moralitas dalam politik). Dengan membebaskan politik dari moralitas maka dengan sendirinya politik menjadi suatu sistem nilai yang otonom, mandiri dan bebas dari sistem-sistem nilai yang lain. Pemikiran filsafat politik Machiavelli adalah amoral dan bukan imoral.Kepentingan Negara menjadi ukuran dan nilai tertinggi untuk mengambil dan menentukan kebijakan dalam kekuasaan.

The Prince of view, yaitu, bahwa buku ini, pertama dan terpenting, sebuah sindiran, sehingga banyak dari kita menemukan sesuatu di dalamnya yang kontradiktif, moral mustahil, dan tampak ada cukup sengaja untuk mengejek dua hal-pertama, yang Medici keluarga sendiri, dan kedua, gagasan yang sangat kejam tercantum dalam peraturan pemerintah yang Prince (dengan itu, sindiran memiliki moral yang kuat untuk tujuan - menelanjangi kesewenang-wenangan dan mempromosikan pemerintah). seperti salah satu cara untuk membaca teks ini, maka harus jelas, yang khas di setiap kesempatan dengan membaca Machiavelli yang menganggap bahwa analisis dan teks yang totally tanpa ironis yang memenuhi syarat, benar-benar bertentangan.

The Prince (Sang Pangeran) sering dijuluki orang "buku petunjuk untuk para diktator." Karier Machiavelli dan berbagai tulisannya menunjukkan bahwa secara umum dia cenderung kepada bentuk pemerintahan republik ketimbang pemerintahan diktator. Tetapi dia cemas dan khawatir atas lemahnya politik dan militer Italia, dan merindukan seorang Pangeran yang kuat yang mampu mengatur negeri dan menghalau tentara-tentara asing yang merusak dan menista negerinya. Menarik untuk dicatat, meskipun Machiavelli menganjurkan seorang Pangeran agar melakukan tindakan-tindakan kejam dan sinis, dia sendiri seorang idealis dan seorang patriot, dan tidak begitu mampu mempraktekkannya sendiri apa yang dia usulkan.

Kenyataan menunjukkan Machiavelli tak henti-hentinya melukiskan usulnya seraya mengambil contoh kehebatan-kehebatan yang pernah terjadi di jaman lampau, atau dari kejadian di Italia .Cesare Borgia (yang dipuji-puji oleh Machiavelli dalam buku The Prince) tidaklah belajar taktik dari Machiavelli; malah sebaliknya, Machiavelli yang belajar darinya.

Kendati Benito Mussolini adalah satu dari sedikit pemuka politik yang pernah memuji Machiavelli di muka umum, karena itu tak meragukan lagi sejumlah besar tokoh-tokoh politik terkemuka sudah pernah baca The Prince dengan cermat. Konon, Napoleon senantiasa tidur di bantal yang di bawahnya terselip buku The Prince, begitu pula orang bilang dilakukan oleh Hitler dan Stalin. Meski demikian, tidaklah tampak jelas bahwa taktik Machiavelli lebih umum digunakan dalam politik modern ketimbang di masa sebelum The Prince diterbitkan. Ini merupakan alasan utama mengapa Machiavelli tidak ditempatkan lebih tinggi dari tempatnya sekarang di buku ini.

Tetapi, jika efek, pikiran Machiavelli dalam praktek politik tidak begitu jelas, pengaruhnya dalam teori politik tidaklah perlu diperdebatkan. Penulis-penulis sebelumnya seperti Plato dan St. Augustine, telah mengaitkan politik dengan etika dan teologi. Machiavelli memperbincangkan sejarah dan politik sepenuhnya dalam kaitan manusiawi dan mengabaikan pertimbangan-pertimbangan moral. Masalah sentral, misalnya adalah bukan bagaimana rakyat harus bertingkah laku; bukannya siapa yang mesti berkuasa, tetapi bagaimana sesungguhnya orang bisa peroleh kekuasaan. Teori politik ini diperbincangkan sekarang dalam cara yang lebih realisitis dari pada sebelumnya tanpa mengecilkan arti penting pengaruh Machiavelli. Orang ini secara tepat dapat dianggap salah satu dari pendiri penting pemikir politik modern.

Filosof politik Niccolo Machiavelli (1469-1527) termasyhur karena nasihatnya yang blak-blakan. Katanya, seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta, digabung dengan penggunaan kekejaman dan kekuatan. Ini terdapat dalam buku The Prince (Sang Pangeran) karya filosof Italia ini. Buku yang mudah dibaca dan terjemahannya dalam banyak bahasa. Pun bahasa Indonesia.Machiavelli menasihatkan sang Pangeran agar dapat dukungan penduduk, karena kalau tidak, dia tidak punya daya menghadapi kesulitan. Tentu, Machiavelli maklum bahwa kadangkala seorang penguasa baru, untuk memperkokoh kekuasaannya, harus berbuat sesuatu untuk mengamankan kekuasaannya, terpaksa berbuat yang tidak menyenangkan warganya.

Dikatakannya, meski begitu untuk merebut sesuatu negara, si penakluk mesti mengatur langkah kekejaman sekaligus. Sehingga tidak perlu mereka alami tiap hari. Kelonggaran harus diberikan sedikit demi sedikit sehingga mereka bisa merasa senang.The Prince (Sang Pangeran) sering dijuluki orang ”buku petunjuk untuk para diktator.” Tetapi tetap digandrungi. Dan Machiavelli dalam berbagai tulisannya menunjukkan secara umum dia cenderung setuju bentuk pemerintahan republik ketimbang pemerintahan diktator. Tetapi dia cemas dan khawatir atas lemahnya politik dan militer.